HUKUM
PERIKATAN
Pengertian
Hukum Perikatan
Hukum
perikatan berasal dari bahasa Belanda yaitu “verbintenis” yang artinya hal yang
mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain.
Hukum
perikatan merupakan suatu hubungan yang terjadi dalam permasalahan kekayaan
yang biasanya terjadi antara dua orang atau lebih dimana salah satunya menjadi
yang berhak atas harta tersebut dan pihak yang bersangkutan lainnya menjadi
yang memiliki kewajiban.
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut:
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Hukum
perikatan di atur dalam buku III KUHPdt. Hukum perikatan adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang
berlakubagi perikatan pada umumnya sedangkan bagian kusus memuat
peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang bernamayang banyak
dipakai dalam masyarakat.
Bagian
umummeliputi bab I, bab II, bab III ( hanya pasal1352 dan 1353) dan bab IV,
yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III
(kecuali pasal 1352 dan 1353), bab IV sampai dengan bab XVIII, yang berlaku
bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja yang sudah ditentukan namanya dan bab-bab yang bersangkutan.
Hukum
perikatan dilakukan dengan sistem “terbuka” artinya setiap orang boleh
mengadakan perikatan baik yang sudah di tentukan namanya maupun yang belum
ditentukan namanya dalam undang-undang.
Dalam
perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban debitur dan
kreditur ditetapkan dalam undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib
memenuhi ketentuan undang-undang. Undang-undang mewajibkan debitur berprestasi
dan kreditur hak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban undang-undang,
jika kewajiban tidak terpenuhi berarti pelanggaran undang-undang.
Dalam
pasal 1352 KUHPdt, perikatan yang timbul karena undang-undangdiperinci menjadi
dua, yaitu perikatan yang timbul semata-semata karena ditentukan oleh
undang-undang dan perikatan yang timbul karenaperbuatan orang. Perikatan yang
timbul karena perbuatan orang dalam pasal 1353 KUHPdt diperinci lagi menjadi
perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum dan perikatan yang timbul
dari perbuatan melawan hukum.
Asas-Asas Dalam Hukum Perikatan
Asas
yang termasuk dalam Hukum Perikatan :
- Asas Konsensualitas (Sepakat)
Perjanjian semata-mata
timbul karena adanya kata sepakat artinya secara umum tidak diperlukan
formalitas tertentu yang disyaratkan
Ada perjanjian tertentu
yang memerlukan formalitas tertentu:
·
Perjanjian Jual beli tanah
·
Perjanjian perdamaian (perjanjian
perdamaian mengiat apabila dibuat secara tertulis).
- Asas Kebebasab Berkontrak
Pasal 1338 BW menyatakan
bahwa semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya.
- Asas kekuatan Mengikat dari Perjanjian
Orang terikat pada
janji yang telah dibuatnya,1338 Asas Pacta Sunt servada.
Semua perjanjian yang
dibuat secara sah mengikat bagi pihak yang membuatnya.
Beberapa Asas Hukum Perikatan Nasional, yaitu :
- Asas Kepercayaan
- Asas Kepastian Hukum
- Asas Perlindungan
- Asas Moral
- Asas Kebiasaan
- Asas Persamaan Hukum
- Asas Keseimbangan
- Asas Kepatutan
Hapusnya Perikatan
Perikatan dapat dihapus jika memenuhi kriteria –
kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUH perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu
perikatan, sebagai berikut :
a)
karena
pembayaran
Pembayaran adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, guru privat dan lain-lain.
Yang dimaksud
oleh undang – undang dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan pemenuhan
tiap perjanjian sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Pihak yang wajib membayar
yaitu :
·
Debitur
·
Seorang pihak ketiga yang
tidak mempunyai kepentingan, melainkan orang ketiga tersebut bertindak atas
nama untuk melunasi utangnya debitur atau pihak ketiga yang bertindak atas
namanya sendiri.
b)
karena
penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Undang – undang memberikan kemungkinan kepada debitur
yang tidak dapat melunasi utannya karena tidak mendapatkan bantuan dari
kreditur, untuk membayar hutangnya denganjalan penawaran pembayaran yang dikuti
dengan penitipan. Penawaran pembayaran di ikuti dengan penitipan hanya
dimungkinkan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan
barang – barang bergerak.Apabila penawaran pembayaran tidak diterima, debitur
dapat menitipkan apa yang ia tawarkan.
c)
karena
pembaruan utang
Pembaharuan utang atau
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
d)
karena perjumpaan utang atau kompensasi
Kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan
jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur (vide: Pasal 1425 BW).
e)
karena
percampuran utang
Percampuran Utang atau
Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang
berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur
dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau
sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
f)
karena
pembebasan utang
Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu
kreditur melepaskaan haknya untuk menagih piutangnya dari kreditur. Pembebasan
hutang tidak mempunyai bentuk tertentu melainkan adanya persetujuan dari
kreditur.
g)
karena
musnahnya barang yang terutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (terlambat),iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
h)
karena
kebatalan atau pembatalan
Dalam pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai
“pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu
perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada
suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak
ada tentu saja tidak dihapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah
pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan
(vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita
membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (Pasal 1320)
i)
karena
berlakunya suatu syarat pembatalan
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang
nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi,baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga
terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi
tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal
selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal
adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan
membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah
ada suatu perjanjian,demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk
mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi.
j)
karena lewat waktu
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang dinamakan kadaluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Referensi
:
Abdulkadir
Muhammad, S.H. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar